KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM GLOBALISASI
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini terbuka lebar bagi setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang apapun. Sebagai contoh dengan adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dibidang politik telah diwujudkan dengan terpilihnya seorang perempuan sebagai Presiden yang juga selaku Kepala Negara memegang pimpinan bangsa dan negara Republik Indonesia yang merupakan kebanggan kita bersama.
Perkembangan peradaban di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarkis telah terkikis dengan meninggalkan dampak negatif diberbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta telah menciptakan ketimpangan gender. Kebudayaan global tengah mendesak kepentingan kesetaraan gender keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Tidaklah mungkin diingkari, kita telah melepaskan pemahaman kuno yang memandang perempuan secara kodrati hanyalah "konco wingking" belaka, tetapi masih diharapkan kewajiban domestik dapat tertanggulangi bersama melalui kemitrasejajaran serta dengan berbagi peran dalam keluarga. Bahwa kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi kehidupan publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan di mungkinkan.
Prinsip dasar dalam Konvensi Wanita adalah persamaan substantif, non diskriminasi, dan prinsip kewajiban negara. Peraturan Hukum yang bersifat diskriminatif pada zaman kolonial telah menghambat perkembangan bagi pemberdayaan perempuan. Bias gender masih terasa dalam substansi hukum positif, meskipun pemerintah sudah menandatangani sejumlah konvensi yang mengatur hak-hak perempuan. Memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender sudah menjadi arah kebijakan hukum pemerintah. Perubahan nilai sosial yang diawali dengan berkembangnya proses industrialisasi dan kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif menuju kesetaraan gender.
Determinise biologis juga telah memperkuat pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja. Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah. Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Itu sebabnya ketimpangan yang melahirkan subordinasi perempuan pun dipandang sebagai hal yang alamiah pula. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan masyarakat.
Peran yurisprudensi yang berperspektif gender, seharusnya dimanfaatkan secara optimal untuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Keberhasilan pemberdayaan perempuan dimaksud, sepenuhnya tergantung pada pelaksanaan penerapan dan penegak hukum yang diperankan oleh aparat penyelenggara negara dan oleh kaum perempuan sendiri.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusja tumbuh dalam lingkup budaya dan ideology patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral.
Di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender. Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Tambah lagi, faktor agama telah digunakan untuk memperkuat kedudukan kaum laki-laki.
Globalisasi dan reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis, tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bidang.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Konsep Kebidanan, juga untuk menambah wawasan terkait masalah kesetaraan gender serta pengaruhnya terhadap pemberdayaan kaum perempuan dalam pembangunan khususnya dalam era globalisasi yang dianggap semua pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam semua aspek kehidupan.
BAB II ISI
A. Makna Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, invetasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Menurut asal katanya, globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya adalah universal. Tokoh yang pertama kali menggunakan istilah globalisasi ini adalah Theodore Levitte pada tahun 1985. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan Negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan dengan membatasi penglihatan terhadap batasan geografis, ekonomi, bahkan budaya masyarakat.
Fenomena globalisasi secara terminologis dapat dimaknai sebagai intensifikasi relasi-relasi social seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari tempat tersebut. Terminologi ini menekankan karakteristik khusus globalisasi yang menjadi ruang hidup manusia modern yang ditandai oleh keluasan (extencity), kekuatan (intencity), kecepatan (velocity), dan dampak (impact) yang luar biasa dan yang belum terbayangkan sebelumnya.
B. Dampaknya Terhadap Kehidupan Perempuan
Seiring dengan fenomena globalisasi, muncul feminisme global guna menjawab penindasan terhadap perempuan akibat dari kebijakan dan praktik-praktik globalisasi. Feminisme global menekankan bahwa penindasan terhadap perempuan di satu bagian dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain. Charlotte Bunch mengidentifikasi 2 (dua) tujuan jangka panjang feminisme global :
1. Hak setiap perempuan atas kebebasan memilih, dan kekuatan memilih dan kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sendiri di dalam dan di luar rumah. Memiliki kekuasaan atas hidup dan tubuh perempuan sendiri merupakan hal yang esensial untuk memastikan adanya rasa kebanggaan dan otonomi pada setiap perempuan.
2. Penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan penindasan dengan menciptakan tatanan social dan ekonomi yang lebih adil secara nasional dan internasional. Hal ini berarti keterlibatan perempuan dalam perjuangan kebebasan nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan bagi perubahan di tingkat lokal dan global.
C. Konsep Gender
Gender adalah peran social dimana peran laki-laki dan perempuan ditentukan. Gender diekspresikan dalam bentuk hubungan antara jenis kelamin yang meningkatkan peran dari peran tersebut, dan diasumsikan sebagai perilaku yang sesuai. Mindset gender adalah dipelajari dan dapat berubah dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dari satu budaya ke budaya lain, dan dari satu kelompok social, etnis, atau ras dengan yang lainnya, dalam suatu budaya yang sama. Peran gender bisa berubah melalui perubahan dalam pendidikan, teknologi, dan ekonomi serta situasi krisis seperti perang atau kelaparan. (The Manager, 2001)
Pada awalnya gender diambil dari kata dalam bahasa arab “jinsiyyun” yang kemudian diadopsi dalam Perancis dan Inggris menjadi “gender” (Faqih, 1999). Dalam terminologi rasional secara biologis perempuan membedakan laki-laki dengan melihat perbedaan system reproduksi, anatomi dan variasi hormonal.
Definisi gender menurut World Health Organization, gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara social. Gender berhubungan dengan persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis. (WHO, 1998)
Stereotip gender berarti perempuan dan laki-laki didefinisikan sebagai makhluk yang berbeda. Masing-masing dengan kesempatan, peran dan tanggung jawab sendiri. Misalnya, perempuan diharapkan bertanggung jawab penuh dalam urusan domestik, dan mengasuh anak, usia lanjut dan orang sakit. Laki-laki di sisi lain ditempatkan pada tanggungjawab utama untuk mendukung keluarga (perempuan bergabung dengan mereka meningkatkan pasar tenaga kerja).
Pembagian gender membentuk kehidupan bagi perempuan dan laki-laki secara mendasar. Sebagai seorang individu dengan identitas tertentu dan sebagai actor dalam keberagaman yang tidak terbatas dari konteks social, mereka dibentuk dan dibentuk ulang oleh keperempuanan dan kelaki-lakian mereka. Pada kebanyakan masyarakat mereka juga menggunakannya untuk menjustifikasi ketidaksetaraan utama dengan mereka yang dikategorikan perempuan mempunyai akses yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berjenis kelamin laki-laki terhadap keberagaman sumberdaya ekonomi dan social yang lebih luas.
D. Paradigma Gender Dalam Agama Islam
Islam hadir di dunia tidak lain untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan tersebut bukanlah perbedaan dalam hal diskriminasi yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Tetapi lebih dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Qur’an yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang dilingkungan keluarga. Ini semua dapat terwujud manakala ada keseimbangan dan keserasian antara laki-laki dan perempuan. (Departemen Agama, 2003)
Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki, kesamaan tersebut diantaranya :
1) Kesamaan memperoleh imbalan atau pahala dari amal shaleh yang dilakukan disebutkan dalam Firman Allah :
“Barang siapa mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS An-Nahl : 97)
2) Islam tidak mentolerir adanya diskriminasi dan perlakuan tidak adil antara laki-laki dan perempuan bahkan antar umat manusia. Firman Allah :
“Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya saling mengenal, seseungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat : 13)
3) Al-Qur’an memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan mitra sejajar. Disebutkan dalam firman Allah :
“Orang-orang mukmin (laki-laki) dan mukminah (perempuan) sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 71)
E. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan
Diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalah-masalah yang dihadapi perempuan dalam menghapuskan kendala-kendala yang menghalangi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Perlu menyadari hal-hal apakah yang harus diubah untuk memungkinkan terwujudnya keadilan gender yang operasional. Rincian yang ada dalam Konvensi Wanita menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan dan kegiatan.
Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi penduduk laki-laki dan perempuan. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. Kita akan lihat bagaimana gambaran pemberdayaan perempuan dalam berbagai aspek diantaranya :
1) Dalam bidang pendidikan
Berdasarkan survey yang diadakan Susenas dalam Jurnal Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, secara keseluruhan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang berarti dalam mencapai kesetaraan gender di bidang pendidikan Sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi. Pendidikan dasar dan lanjutan. Terdapat kesetaraan gender di tingkat sekolah dasar, namun rasio di sekolah lanjutan pertama cenderung lebih dari 100 persen. Hal ini menunjukkan proporsi perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Diperlukan analisis lebih lanjut mengapa partisipasi penduduk laki laki relatif lebih rendah dibandingkan perempuan. Faktor yang menghambat akses perempuan ke sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi di antaranya akses yang masih terbatas. Jumlah sekolah yang terbatas dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan lakilaki. Perkawinan dini juga diduga menjadi sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Pandangan bias gender. Gejala pemisahan gender (gender segregation) dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender secara sukarela (voluntary discrimination) ke dalam bidang keahlian masih banyak ditemukan. Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperandalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, tehnologi dan industri. Penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi menunjukkan masih terdapat stereotipi dalam sistem pendidikan di Indonesia yang mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender. Sebagai contoh, bidang ilmu social pada umumnya didominasi siswa perempuan, sementara bidang ilmu teknis umumnya didominasi siswa laki-laki.
Target pada Millennium Development Goals, kebijakan yang diambil adalah mewujudkan persamaan akses pendidikan yang bermutu dan berwawasan gender bagi semua anak laki-laki dan perempuan; menurunkan tingkat buta huruf penduduk dewasa terutama penduduk perempuan melalui peningkatan kinerja pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, baik melalui sekolah maupun luar sekolah, pendidikan kesetaraan dan pendidikan baca tulis fungsional bagi penduduk dewasa; dan meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan yang berwawasan gender. Kebijakan itu dilaksanakan melalui lima strategi utama, yaitu: penyediaan akses pendidikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah; penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah; peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis untuk meningkatkan derajat melek huruf, terutama penduduk perempuan; peningkatan koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka mengarusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
2) Kontribusi perempuan terhadap upah di sektor non-pertanian
Kontribusi penduduk perempuan dalam pekerjaan upahan (wage employment) untuk sektor non-pertanian mengalami peningkatan dari 1996 sampai dengan 1998, yaitu dari 28,3 persen menjadi 37,6 persen. Peningkatan kontribusi terjadi di hampir semua provinsi. Beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, NTB, dan NTT bahkan telah mencapai lebih dari 50 persen. Namun sejak 1998 kontribusi perempuan itu menurun dari tahun ke tahun sehingga menjadi 28,26 persen pada 2002. Kecenderungan penurunan terjadi hampir di semua provinsi. Kondisi itu diduga terkait dengan krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 yang menyebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja yang lebih banyak terjadi pada pekerja perempuan.
3) Partisipasi perempuan dalam parlemen
Pada periode 1992–1997, proporsi perempuan di DPR adalah 12 persen. Pada periode keanggotaan 1999-2004, dari seluruh anggota DPR yang berjumlah 500 orang, hanya 45 orang di antaranya atau 9,9 persen yang perempuan. Namun terdapat 82 persen anggota DPR perempuan yang lulus perguruan tinggi. Ini lebih banyak dibandingkan anggota DPR laki laki dengan tingkat pendidikan yang sama, yaitu 75 persen.
F. Peran Kepemimpinan Bidan
Zaman telah berubah, dan saat ini kita hidup di era dimana perlu dialog terbuka mengenai siapa yang bisa menjadi pemimpin dan apa yang diperlukan untuk menerapkan kepemimpinan yang efektif. Terbuka peluangyang besar bagi laki-laki dan perempuan yang berani menjawab tantangan demi mencapai kemajuan. Yang menarik adalah bakat dan keterampilan perempuan, perlahan tapi pasti mulai diakui.
Atribut kepemimpinan berhubungan dengan peran gender, tetapi kepemimpinan itu sendiri tidak terpengaruh oleh gender. Misalnya, seorang perempuan yang berperan sebagai pemimpin tidak hanya mampu menyelesaikan tugas atau memenuhi komitmennya tetapi mereka juga mengubah stereotip yang sudah mengakar selama berabad-abad serta mampu membuktikan bahwa ada lebih dari satu cara untuk menjadi pemimpin yang berhasil.
Bidan dan calon bidan, seperti petugas kesehatan lainnya yang menyediakan pelayanan bagi perempuan terus menerus menghadapi dilemma moral dan etis yang disodorkan oleh tradisi system dan istitusi yang berpihak kepada laki-laki. Seorang bidan mengusung tanggungjawab untuk menjadi pemimpin di kalangan masyarakat sekitarnya. Tugasnya sebagai bidan juga memposisikan dirinya untuk menghadapi tradisi dominasi laki-laki dalam hal yang menyangkut seksualitas dan akibat dari perilaku seksual laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Berarti, bidan harus bermitra dengan pengelola program yang bertujuan juga untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Disinilah bidan diperlukan keterampilan kepemimpinan untuk menggalang komitmen, merencanakan secara strategis, memobilisasi sumber daya, meningkatkan kemitraan sector dan dapat membuka akses pada pelayanan atau program kesehatan reproduksi.
Untuk membangun sebuah karakteristik kepemimpinan yang efektif, bidan dalam menjadi panutan harus menjaga kejujuran dan integritas. Bidan harus mampu membangun dan memptivasi tim menjadi tim yang kuat dan produktif agar mendukung upaya promosi kesetaraan dan keadilan gender dalam meningkatkan status kesehatan reproduksi perempuan. Bidan harus memperlakukan setiap orang dengan hormat dan penuh penghargaan, melakukan yang terbaik dan bisa dipercaya, selalu bersedia dan berperan nyata di masyarakat. Masyarakatpun perlu mempunyai rasa memiliki sehingga tercipta lingkungan yang mendukung perubahan perilaku. Semua ini membuthkan pemberdayaan masyarakat, dan untuk bisa sukses diperlukan sebuah kepemimpinan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalah-masalah yang dihadapi perempuan dalam menghapuskan kendala-kendala yang menghalangi terwujudnya Kesetaraan dan keadilan gender. Budaya dan ideologi patriarki, baik di dunia Barat maupun Timur masih sangat mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, tehnologi, kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya.
Perubahan sosial menuju ke mitra sejajaran gender di awali dengan proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi dengan fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah. Melalui pengarahan pemerintah diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan dengan tujuan utama memberdayakan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk masa mendatang agar dapat berperan serta aktif dan mengefektifitaskan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Terkait dengan profesi bidan, harus berani untuk mengemukakan hambatan-hambatan dalam upaya pencegahan perilaku berisiko maupun upaya perubahan perilaku. Dan untuk mewujudkannya perlu mengikutsertakan masyarakat serta aparat yang berwenang, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai dan manfaatnya dapat dirasakan bersama.
B. Saran
Untuk keberhasilan dan pembangunan berkelanjutan mengenai kemitrasejajaran gender, hendaknya pemerintah dapat menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, mengembangkan peraturan-peraturan agar pemberdayaan perempuan dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas hidup. kesejahteraan kehidupan keluargadan masyarakat. Menggalakkan sosialisasi peran yurisprudensi untuk lebih dapat dimanfaatkan bagi pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dalam pembangunan yang berkesinambungan. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan kaum perempuan dengan system pendidikan biaya ringan, bila dimungkinkan dengan pemberian beasiswa.
Bidan dan calon bidan, seperti petugas kesehatan lainnya yang menyediakan pelayanan bagi perempuan terus menerus menghadapi dilema moral dan etis yang disodorkan oleh tradisi system dan istitusi yang berpihak kepada laki-laki. Disini bidan diharapkan untuk selalu memperkaya ilmu, kemampuan dan keterampilannya sebagai tangan panjang pemerintah dan profesi terdepan dalam kesehatan anak dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Henderson, C. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta : EGC
Jurnal Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Diaksesdari http: //www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG_goals3.pdf. Juni 2010
Syukrie, E. 2008. Seminar Pemberdayaan Perempuan. Diakses dari : http : //www.lfip.org/English/pdf/baliseminar/pemberdayaanperempuan.pdf. Juni 2010
No comments:
Post a Comment